This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

30 November 2010

Mesjid Al-Markas Al-Islami

Mesjid Al-Markas Al-Islami

Al-Markas Al-Islami didirikan pada tanggal 8 Mei 1984 atas prakarsa Jendral M Yusuf sebagai pusat pengembangan agama Islam . Tempat ini didesain sedemikian rupa sehingga dapat mencerminkan pengintegrasian nilai-nilai Islam diwarnai dengan kebudayaan lokal dan modern. Terletak di Jalan Mesjid Raya, sekitar 2 Km dari pusat kota Makasar, dengan luas sekitar 10 Hektar. Di tempat ini terdapat fasilitas ruang shallat, sekolah, perpustakaan, ruang serba guna, wartel dan tempat parkir.

25 November 2010

Coto Makassar

Tidak ada catatan resmi sejak kapan Coto Makassar atau Coto Mangkasara ditemukan dan siapa yang pertama kali menemukan serta memperkenalkannya. Sampai saat ini, orang hanya tahu bahwa makanan ini adalah hidangan khas Makassar yang diciptakan oleh rakyat jelata dari suku Makassar. Bahan dasar utamanya adalah daging dan jeroan (isi perut) sapi, seperti hati, babat, jantung, usus, dan limpah. Cara memasaknya, bahan dasar tersebut direbus terlebih dahulu hingga lunak, lalu dipotong kecil-kecil. Kemudian dicampur dengan kuah yang dimasak pada tempat terpisah. Kuahnya adalah campuran dari berbagai macam rempah-rempah yang kemudian ditambahkan dengan gilingan kacang tanah yang sudah digoreng. Pada saat akan disajikan, makanan ini ditambahkan dengan bawang goreng, daun seledri, jeruk nipis, ketupat, serta burasa dan sambal.

Hidangan Coto Makassar ini dapat ditemukan di berbagai tempat di Kota Makassar, mulai dari warung pinggir jalan hingga di restoran, dengan harga berkisar antara Rp. 3.500,- hingga Rp. 7.000,- per-porsi. Di Kota Makassar, ada beberapa lokasi pedagang Coto Makassar yang cukup terkenal, seperti di Jl. Gagak, di Panakukang, dan di Jl. AP. Pettarani. Warung-warung tersebut buka sejak pagi hari hingga tengah malam.

08 November 2010

Perahu Pinisi

Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.

Perahu Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.

Singkat cerita, Sawerigading berhasil memperistri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di Tiongkok, Sawerigading rindu kepada kampung halamannya. Dengan menggunakan perahunya yang dulu, ia berlayar ke Luwu. Namun, ketika perahunya akan memasuki pantai Luwu, tiba-tiba gelombang besar menghantam perahunya hingga pecah. Pecahan-pecahan perahunya terdampar ke 3 (tiga) tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo. Oleh masyarakat dari ketiga kelurahan tersebut, bagian-bagian perahu itu kemudian dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah dan dinamakan Perahu Pinisi.

Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut, terutama di Keluharan Tana Beru.

Keistimewaan
Ketika berada di Pusat Kerajinan Perahu Pinisi di Tana Beru, para pengunjung akan berdecak kagum melihat kepiawaian para pengrajinnya membuat Perahu Pinisi. Mereka mampu membuat perahu yang sangat kokoh dan megah hanya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari nenek moyang mereka, tanpa menggunakan gambar atau kepustakaan tertulis. Sejarah membuktikan bahwa Perahu Pinisi Nusantara telah berhasil berlayar ke Vancouver Kanada, Amerika Serikat, pada tahun 1986. Oleh karena kepiawaian para pengrajin tersebut, Kabupaten Bulukumba dijuluki sebagai Butta Panrita Lopi, yaitu bumi atau tanah para ahli pembuat Perahu Pinisi.

Pembuatan Perahu Pinisi cukup unik, karena proses pembuatannya memadukan keterampilan teknis dengan kekuatan magis. Tahap pertama dimulai dengan penentuan hari baik untuk mencari kayu (bahan baku). Hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke-5 dan ke-7 pada bulan yang sedang berjalan. Angka 5 menyimbolkan naparilimai dalle‘na, yang berarti rezeki sudah di tangan, sedangkan angka 7 menyimbolkan natujuangngi dalle‘na, yang berarti selalu mendapat rezeki. Tahap selanjutnya adalah menebang, mengeringkan dan memotong kayu. Kemudian kayu atau bahan baku tersebut dirakit menjadi sebuah perahu dengan memasang lunas, papan, mendempulnya, dan memasang tiang layar. Tahap terakhir adalah peluncuran perahu ke laut.

Tiap-tiap tahap tersebut selalu diadakan upacara-upacara adat tertentu. Sebelum perahu Pinisi diluncurkan ke laut, terlebih dahulu dilaksanakan upacara maccera lopi (mensucikan perahu) yang ditandai dengan pemyembelihan binatang. Jika Perahu Pinisi itu berbobot kurang dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor kambing, dan jika bobotnya lebih dari 100 ton, maka binatang yang disembelih adalah seekor sapi.

Lokasi Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak di Kelurahan Tana Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.

Akses
Tana Beru sebagai Pusat Kerajinan Perahu Pinisi terletak sekitar 176 kilometer dari Kota Makassar atau 23 kilometer dari Kota Bulukumba. Perjalanan dari Kota Bulukumba ke Tana Beru dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pribadi maupun angkutan umum berupa pete-pete (mobil mikrolet).
Sumber : http://wisatamelayu.com

Museum Balla Lompoa

Museum Balla Lompoa merupakan rekonstruksi dari istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng Matutu, pada tahun 1936. Dalam bahasa Makassar, Balla Lompoa berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Arsitektur bangunan museum ini berbentuk rumah khas orang Bugis, yaitu rumah panggung, dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter untuk masuk ke ruang teras. Seluruh bangunan terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Bangunan ini berada dalam sebuah komplek seluas satu hektar yang dibatasi oleh pagar tembok yang tinggi.

Bangunan museum ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu ruang utama seluas 60 x 40 meter dan ruang teras (ruang penerima tamu) seluas 40 x 4,5 meter. Di dalam ruang utama terdapat tiga bilik, yaitu: bilik sebagai kamar pribadi raja, bilik tempat penyimpanan benda-benda bersejarah, dan bilik kerajaan. Ketiga bilik tersebut masing-masing berukuran 6 x 5 meter. Bangunan museum ini juga dilengkapi dengan banyak jendela (yang merupakan ciri khas rumah Bugis) yang masing-masing berukuran 0,5 x 0,5 meter.

Museum ini berfungsi sebagai tempat menyimpan koleksi benda-benda Kerajaan Gowa. Benda-benda bersejarah tersebut dipajang berdasarkan fungsi umum setiap ruangan pada bangunan museum. Di bagian depan ruang utama bangunan, sebuah peta Indonesia terpajang di sisi kanan dinding. Di ruang utama dipajang silsilah keluarga Kerajaan Gowa mulai dari Raja Gowa I, Tomanurunga pada abad ke-13, hingga Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957). Di ruangan utama ini, terdapat sebuah singgasana yang di letakkan pada area khusus di tengah-tengah ruangan. Beberapa alat perang, seperti tombak dan meriam kuno, serta sebuah payung lalong sipue (payung yang dipakai raja ketika pelantikan) juga terpajang di ruangan ini.

Museum ini pernah direstorasi pada tahun 1978-1980. Hingga saat ini, pemerintah daerah setempat telah mengalokasikan dana sebesar 25 juta rupiah per tahun untuk biaya pemeliharaan secara keseluruhan.

Keistimewaan
Museum Balla Lompoa menyimpan koleksi benda-benda berharga yang tidak hanya bernilai tinggi karena nilai sejarahnya, tetapi juga karena bahan pembuatannya dari emas atau batu mulia lainnya. Di museum ini terdapat sekitar 140 koleksi benda-benda kerajaan yang bernilai tinggi, seperti mahkota, gelang, kancing, kalung, keris dan benda-benda lain yang umumnya terbuat dari emas murni dan dihiasi berlian, batu ruby, dan permata. Di antara koleksi tersebut, rata-rata memiliki bobot 700 gram, bahkan ada yang sampai atau lebih dari 1 kilogram. Di ruang pribadi raja, terdapat sebuah mahkota raja yang berbentuk kerucut bunga teratai (lima helai kelopak daun) memiliki bobot 1.768 gram yang bertabur 250 permata berlian. Di museum ini juga terdapat sebuah tatarapang, yaitu keris emas seberat 986,5 gram, dengan pajang 51 cm dan lebar 13 cm, yang merupakan hadiah dari Kerajaan Demak. Selain perhiasan-perhiasan berharga tersebut, masih ada koleksi benda-benda bersejarah lainnya, seperti: 10 buah tombak, 7 buah naskah lontara, dan 2 buah kitab Al Quran yang ditulis tangan pada tahun 1848.

Lokasi
Museum Balla Lompoa berada di Jalan Sultan Hasanuddin No. 48 Sungguminasa, Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Akses
Museum ini terletak di Kota Sungguminasa yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar. Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan pribadi dan angkutan umum, baik roda empat maupun roda dua.

07 November 2010

Sejarah Kerajaan Gowa

Menurut mitologi, sebelum kedatangan Tomanurung di tempat yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kerajaan Gowa, sudah terbentuk sembilan pemerintahan otonom yang disebut Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang (gabungan/federasi). Sembilan pemerintahan otonom tersebut adalah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Pada awalnya, kesembilan pemerintahan otonom ini hidup berdampingan dengan damai, namun, lama kelamaan, muncul perselisihan karena adanya kecenderugnan untuk menunjukkan keperkasaan dan semangat ekspansi. Untuk mengatasi perselisihan ini, kesembilan pemerintahan otonom ini kemudian sepakat memilih seorang pemimpin di antara mereka yang diberi gelar Paccallaya. Ternyata rivalitas tidak berakhir dengan kesepakan ini, karena masing-masing wilayah berambisi menjadi ketua Bate Selapang. Di samping itu, Paccallaya ternyata juga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hingga suatu ketika, tersiar kabar bahwa di suatu tempat yang bernama Taka Bassia di Bukit Tamalate, hadir seorang putri yang memancarkan cahaya dan memakai dokoh yang indah.

Mendengar ada seorang putri di Taka Basia, Paccallaya dan Bate Salapang mendatangi tempat itu, duduk tafakkur mengelilingi cahaya tersebut. Lama-kelamaan, cahaya tersebut menjelma menjadi wanita cantik, yang tidak diketahui nama dan asal-usulnya. Oleh karena itu, mereka menyebutnya Tomanurung. Lalu, Paccallaya bersama Kasuwiyang Salapang berkata pada Tomanurung tersebut, “kami semua datang kemari untuk mengangkat engkau menjadi raja kami, sudilah engkau menetap di negeri kami dan sombaku lah yang merajai kami”. Setelah permohonan mereka dikabulkan, Paccallaya bangkit dan berseru, “Sombai Karaeng Nu To Gowa (sembahlah rajamu wahai orang-orang Gowa).

Tidak lama kemudian, datanglah dua orang pemuda yang bernama Karaeng Bayo dan Lakipadada, masing-masing membawa sebilah kelewang. Paccallaya dan kasuwiyang kemudian mengutarakan maksud mereka, agar Karaeng Bayo dan Tomanurung dapat dinikahkan agar keturunan mereka bisa melanjutkan pemerintahan kerajaan Gowa. Kemudain semua pihak di situ membuat suatu ikrar yang intinya mengatur hak, wewenang dan kewajiban orang yang memerintah dan diperintah. Ketentuan tersebut berlaku hingga Tomanurung dan Karaeng Bayo menghilang, ketika anak tunggal mereka Tumassalangga Baraya lahir. Anak tunggal inlah yang selanjutnya mewarisi kerajaan Gowa.

Kerajaan Gowa mencapai puncak keemasannya pada abad XVI yang lebih populer dengan sebutan kerajaan kembar “Gowa-Tallo” atau disebut pula zusterstaten (kerajaan bersaudara). Kerajaan Dwi-Tunggal ini terbentuk pada masa pemerintahan Raja Gowa IX, Karaeng Tumaparissi Klonna (1510-1545), dan ini sangat sulit dipisahkan karena kedua kerajaan telah menyatakan ikrar bersama, yang terkenal dalam pribahasa “Rua Karaeng Na Se’re Ata” (“Dua Raja tetapai satu rakyat”). Oleh karena itu, kesatuan dua kerajaan itu disebut Kerajaan Makassar.

Masa kejayaan Kerajaan Gowa tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Karaeng Patingalloang, Mangkubumi Kerajaan yang berkuasa 1639-1654. Nama lengkapnya adalah I Mangadicinna Daeng Sitaba Sultan Mahmud, putra Raja Tallo VII, Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Matowaya. Sewaktu Raja Tallo I Mappaijo Daeng Manyuru diangkat menjadi raja Tallo, usianya baru satu tahun. Karaeng Pattingalloang diangkat untuk menjalankan kekuasaannya sampai I Mappoijo cukup usia. Oleh karena itu dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Karaeng Pattingalloang adalah Raja Tallo IX.

Karaeng Pattingalloang diangkat menjadi sebagai Mengkubumi Kerajaan Gowa-Tallo pada tahun 1639-1654, mendampingi Sultan Malikussaid, yang memerintah pada tahun 1639-1653. Karaeng Pattingalloang, dilantik menjadi Tumabbicara Butta Kerajaan pada hari Sabtu, tanggal 18 Juni 1639. Jabatan itu didapatkannya setelah ia menggantikan ayahnya Karaeng Matowaya. Pada saat ini menjabat Mangkubumi, Karajaan Makassar telah menjadi sebuah kerajaan terkenal dan banyak mengundang perhatian negeri-negeri lainnya.

Karaeng Pattingalloang adalah putra Gowa yang kepandaiannya atau kecakapannya melebihi orang-orang Bugis Makassar pada umumnya. Dalam usia 18 tahun ia telah menguasai banyak bahasa, di antaranya bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan beberapa bahasa lainnya. Selain itu juga memperdalam ilmu falak. Pemerintah Belanda melalui wakil-wakilnya di Batavia di tahun 1652 menghadiahkan sebuah bola dunia (globe) yang khusus dibuat di negeri Belanda, yang diperkirakan harganya f 12.000. Beliau meninggal pada tanggal 17 September 1654 di Kampung Bontobiraeng. Sebelum meninggalnya ia telah mempersiapkan 500 buah kapal yang masing-masing dapat memuat 50 awak untuk menyerang Ambon.

Karaeng Pattingolloang adalah juga seorang pengusaha internasional, beliau bersama dengan Sultan Malikussaid berkongsi dengan pengusaha besar Pedero La Matta, Konsultan dagang Spanyol di Bandar Somba Opu, serta dengan seorang pelaut ulung Portugis yang bernama Fransisco Viera dengan Figheiro, untuk berdagang di dalam negeri. Karaeng Pattingalloang berhasil mengembangkan/meningkatkan perekonomian dan perdagangan Kerajaan Gowa. Di kota Raya Somba Opu, banyak diperdagangkan kain sutra, keramik Cina, kain katun India, kayu Cendana Timor, rempah-rempah Maluku, dan Intan Berlian Borneo.

Pada pedagang-pedagang Eropa yang datang ke Makassar biasanya membawa buah tangan yang diberikan kepada para pembesar dan bangsawan-bangsawan di Kerajaan Gowa. Buah tangan itu kerap kali juga disesuaikan dengan pesan yang dititipkan ketika mereka kembali ke tempat asalnya. Karaeng Pattingalloang ketika diminta buah tangan apa yang diinginkannya, jawabnya adalah buku. Oleh karena itu tidak mengherankan jika Karaeng Pattingalloang memiliki banyak koleksi buku dari berbagai bahasa.

Karaeng Pattingalloang adalah sosok cendikiawan yang dimiliki oleh Kerajaan Makassar ketika itu. Karena itu pedulinya terhadap ilmu pengetahuan, sehingga seorang penyair berkebangsaan Belanda yang bersama Joost van den Vondel, sangat memuji kecendikiawannya dan membahasakannya dalam sebuah syair sebagai berikut:

“Wiens aldoor snuffelende brein
Een gansche werelt valt te klein”

Yang artinya sebagai berikut:

“Orang yang pikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya”.

Karaeng Patingalloang tampil sebagai seorang cendekiawan dan negarawan di masa lalu. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau pernah berpesan untuk generasi yang ditinggalkan antara lain sebagai berikut:

Ada lima penyebab runtuhnya suatu kerajaan besar, yaitu:

1. Punna taenamo naero nipakainga’ Karaeng Mangguka,
2. Punna taenamo tumanggngaseng ri lalang Pa’rasangnga,
3. Punna taenamo gau lompo ri lalang Pa’rasanganga,
4. Punna angngallengasemmi soso’ Pabbicaraya, dan
5. Punna taenamo nakamaseyangi atanna Mangguka.

Yang artinya sebagai berikut :

1. Apabila raja yang memerintah tidak mau lagi dinasehati atau diperingati,
2. Apabila tidak ada lagi kaum cerdik cendikia di dalam negeri,
3. Apabila sudah terlampau banyak kasus-kasus di dalam negeri,
4. Apabila sudah banyak hakim dan pejabat kerajaan suka makan sogok, dan
5. Apabila raja yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya.

Beliau wafat ketika ikut dalam barisan Sultan Hasanuddin melawan Belanda. Setelah wafatnya, ia kemudian mendapat sebutan “Tumenanga ri Bonto Biraeng”.

Dari sudut pandang terminologi, belum ada kesempatan (konsensus) arti kata Gowa yang menjelaskan secara utuh asal-usul kata serapan Gowa. Arti yang ada hanyalah asumsi dan perkiraan antara lain: pertama, kata Gowa berasal dari “goari”, yang berarti kamar atau bilik/perhimpun; kedua, berasal dari kata “gua”, yang berarti liang yang berkait dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di gua/perbukitan Taka Bassia, Tamalate (dalam bahasa Makassar artinya tidak layu) yang kemudian secara politik kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan kasuwiang (Bate Salapang) yang bersifat federasi di bawah paccallaya, yang kemudian menjadi kekuasaan tunggal Tomanurung, sehingga leburlah Bate Salapang menjadi Kerajaan “Gowa” yang diperkirakan berdiri pada abad XIII (1320).

Sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII I Pakere’ Tau Tunnijallo ri Passukki, pemerintahan kerajaan dipusatkan di Taka Bassia (Tamalate) sebagai istana Raja Gowa I. Kemudian istana raja ini dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi yang bergelar Tumapa’risi Kallonna karena dianggap lebih menguntungkan dan strategis sebagai kerajaan yang maju di bidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukkan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin hubungan kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi itulah yang menjadikan Kerajaan Gowa-Tallo menjadi kerajaan besar. Bandar yang dimilikinya menjadi bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya negara-negara besar lain di abad XVI dan XVII. Pada waktu itu pemerintah menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan teori Mare Leberum (laut bebas) yang memberi jamina usaha para pedagang asing. Akan tetapi, ambisi itu pula yang menciptakan persaingan yang bersifat terselubung (laten) ketika ingin memegang hegomoni dan zuserenitas di Sulewasi, terutama persaingannya dengan Kerajaan Bone. Ketika persaingan itu memuncak, Belanda memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya perang Makassar (1666-1669).

Di sisi lain, agama Islam salah satu alasan perlawanan Bone ketika Gowa berusaha mengintroduksi agama Islam. Usaha itu diprakarsai oleh Raja Gowa XV I Mangerangi Daeng Manrabbia Karaeng Lakiung bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593-1639) yang menjadi muslim pada tanggal 9 Jumadil 1051 H atau 20 September 1605. Beliau berusaha mewujudkan penyatuan Sulawesi tetapi tidak terealisir sampai masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669) yang berakhir dengan Pernjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667 setelah Perang Makassar.




Sumber : http://sulawesiparasangangku.blogspot.com

Tari Pakarena Makassar

Memang tak ada orang yang tahu persis sejarah Pakarena. Tapi dari cerita-cerita lisan yang berkembang, tak diragukan lagi tarian ini adalah ekspresi kesenian rakyat Gowa.

Menurut Munasih Nadjamuddin yang seniman Pakarena, tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langimengajarkan penghunilino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduklino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi.

Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Meski tarian ini sempat menjadi kesenian istana pada masa Sultan Hasanuddin raja Gowa ke-16, lewat sentuhan I Li’motakontu, ibunda sang Sultan. Demikian juga saat seniman Pakarena ditekan gerakan pemurnian Islam Kahar Muzakar karena dianggap bertentangan dengan Islam. Namun begitu tragedi ini Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.

Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.

Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang.Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan.

Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian.

Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia.

Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam.

Tidak salah kalau seorang penari Pakarena harus mempersiapkan dirinya dengan prima, baik fisik maupun mental. Gerakan monoton dan melelahkan dalam Tari Pakarena, sedikit banyak menyebabkan kaum perempuan di Sulawesi Selatan, tak begitu berminat menarikannya.

Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda penontonya.

Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena.

Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang.Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan.

20 April 2009

Suku Kajang Di Kab. Bulukumba

Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa adalah sebuah suku yang terdapat pada kebudayaan sulawesi selatan Masyarakat Kajang di bisa di jumpai pada Kabupaten Bulukumba lebih tepatnya kecamatan kajang. Sebuah Suku Klasik yang masih kental akan adat istiadatnya yang sangat sakral.

Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang mereka yakini.

Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.

Suku Kajang dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Amma Toa berada beberapa rumah dari utara.

Dalam bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini sebagai media kkomunikasi antar sesama masyarakat suku kajang.

Rumah Adat Suku Kajang bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masayarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya

Begitu banyak Kebudayaan yang dimiliki oleh Masyarakat Bugis Makassar sudah sepantasnya lah kita melestarikan kebudayaan tersebut. Suku Kajang salah satu dari sekian banyaknya budaya nusantara yang masih kental akan adat istiadatnya.

Sumber : http://lagaligo.net dan http://www.syamsoe.com

Asal Mula Toraja

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang anthtropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Sejarah Aluk

Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura.
Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum masehi.

Beberapa Tokoh penting daiam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi’ adalah pembawa aluk Sabda Saratu’ yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah
timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suku dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.
Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”, Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu’, Parange menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma’dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.

Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo arti harfiahnya adalah “Negri yang bulat seperti bulan dan
Matahari”. Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut

Sumber : http://lagaligo.net

Cerita Rakyat Toraja Datu Manili’ ( Landorundun)

Menurut penuturan lisan orang Toraja khususnya bagi para bangsawan khususnya di Kecamatan Sa’dan Balusu’ dan Sesean bahwa Londorundun yang bergelar “Datu Manili”, adalah seorang putri yang cantik jelita yang memiliki rambut panjang dengan ukuran 17 depah 300 jengkal atau dalam Bahasa Toraja “Sang pitu da’panna, Talluratu’ Dangkananna”. Gadis jelita ini dipersunting oleh seorang raja dari Kabupaten Bone yang bernama “Datu Bendurana”.
Bukti sejarahnya adalah sebuah buku besar yang modelnya persis dengan sebuah kapal dikawal oleh dua batu kecil yang modelnya seperti perahu berada di Sungai Sa’dan di desa Malango’ (Rantepao) sebelah kanan jembatan Malango’ yang menurut cerita leluhur secara turun-temurun adalah kapal milik Datu Bendurana yang datang mencari dan menyelidiki Datu Manili (Londorundun). Mereka dipertemukan dalam jodoh dan oleh sebab itu orang Bone tidak boleh berselisih dengan orang Toraja, karena mereka mempunyai “Basse” atau “Perjanjian”. Salah satu saudara kandung Londorundun adalah “Puang Bualolo” kawin ke wilayah Sa’dan, dan menjadi leluhur pemilik Museum Londorundun yang terletak di Desa Tallunglipu, kompleks Bolu-Rantepao.

06 April 2009

PROSESI PERNIKAHAN ADAT BUGIS MAKASSAR

Prosesi pernikahan yang dipakai oleh masyarakat Bugis-Makassar. Prosesi pernikahan ini dipertunjukkan di halaman Benteng Fort Rotterdam dan disaksikan oleh puluhan warga asing yang ikut Dalam acara Pasar Wisata TIME. Prosesinya antara lain Mappacci, Mappettu Ada, Pabbaji, dan sebagainya. Selain itu para peserta TIME juga disuguhi aneka makanan tradisional dari Makassar.

Pabbajikang
Ini adalah gambar dimana mempelai pria dan wanita disatukan dalam satu sarung. prosesi ini diberi nama pabbajikang. Yaitu prosesi yang mempertemukan kedua mempelai untuk pertama kalinya sebelum bersanding di pelaminan. Pabbajikang melambangkan status antara mempelai wanita dan pria yang sudah halal untuk satu sama lain. Biasanya salah satu orang yang dituakan seperti dalam gambar [yang memakai baju putih-red] membimbing kedua mempelai untuk menyentuh bagian tertentu seperti ubun-ubun, pipi dan bahu. dalam adat bugis, prosesi ini dinamakan Mappasikarawa.

Rombongan Erang-erang
Iring-iringan pengantin dalam baju bodo kuning yang bersiap menuju kediaman mempelai wanita. Masing-masing membawa hadiah yang akan diberikan sebagai persembahan atau erang-erang untuk pengantin wanita. Biasanya erang-erang tersebut berisi seperangkat alat sholat, sepatu, emas, kosmetik dan sebagainya. Rombongan gadis pembawa erang-erang umumnya terdiri dari 12 orang gadis remaja dan dikawal oleh keluarga pengantin pria.

Warren&Joyce
mereka adalah Warren Whittaker dan Joycelyn Hill yang ikut menyaksikan pagelaran adat perkawinan Makassar. Menurut mereka acara pernikahan di Makassar sangat unik dengan berbagai macam warna pakaian yang cerah. Berbeda dengan yang sering dilihatnya di lingkungannya di Sydney Australia. Joy baru empat bulan berada di Indonesia dan tidak merasa takut dengan berbagai macam pemberitaan yang sering ditemuinya di media massa. "yang salah adalah orang yang berbuat bukan Indonesianya" demikian kata Joyce ketika ditanya soal beberapa peristiwa peledakan yang menewaskan warga Australia.

Passompoa
Passompa adalah salah satu bagian penting dalam prosesi perkawinan. Passompa berarti dipanggulnya salah seorang anggota keluarga mempelai wanita yang termuda.

Paduan Suara Makassar
Ini adalah Paduan Suara Mahasiswa dari Universitas Hasanuddin. Mereka membawakan lagu-lagu daerah Sulawesi Selatan dalam pakaian adat Tanah Toraja.